Semenjak rapat perdana sanggar
tumondei minahasa selatan di adakan, kami menyepakati dalam rapat program kerja salah satunya kami
akan mengadakan expedisi. Dan expedisi yang pertama akan di laksanakan di
gunung lolombulan.
![]() | |
sedang memebuat makan malam |
Dari tondano saya dan billy dan vikson
wongkar akan mudik ke desa tondei untuk menyukseskan program yang sudah kami
sepakati sebelumnnya. Kira-kira jam 12. 00 kami tiba di desa tondei yang kami
cintai. Tak lama beristirahat billy yang dengan begitu semangatnya langsung
mendatangi rumahku, dan langsung mengajakku untuk pergi ke rumah Iswadi dan
Iswan yang adalah tonaas wangko dan tua inlukar di sanggar tumondei minahasa
selatatan. Setelah mendengar pernyataan dari
Iswan dan Iswadi bahwa mereka sudah siap untuk berangkat menuju ke
lolombulan. Saya dan bily langsung menuju ke rumah vikson dan langsung
menginformasikan bahwa akan melaksanakan expedisi, dan tak lupa kami mengajak
tonaas Glendi wongkar.
setelah kami terkumpul, kami segera memastikan kembali bekal yang akan kami bawa, dan Karena di situasi saat itu hujan turun dengan begitu lambat (gerimis) seorang dari kami mengatakan bahwa tidak usah membawa air terlalu banyak karena terik matahari tidak menyengat. tapi seorang dari kami yang sudah mempunyai pengalaman mendaki gunung mengatakan bahwa air sangatlah penting. Dan saya memutuskan mengikuti aturan dari seorang yang sudah mempunyai pengalaman tersebut. Akhirnya expedisipun di mulai. Perjalanan yang di temani oleh gerimis tak membuat galau, bahkan semangat semakin berapi-api. Dalam perjalan Iswan selalu memotret rumput-rumput yang bentuknya sangat indah. Kami melewati tempat dimana burung manguni memberikan tanda pada beberapa tahun lalu bahwa tempat yang kami tinggalkan sekarang yaitu desa tondei bisa di tinnggali. Saat ini kami mendengar bahwa seorang dari kami pernah menaklukan gunung lolombulan, glendi mengatakan dia bersama kawan-kawannya 3 tahun lalu pernah menaklukan lolombulan. Ketika kami mendegar pernyataan tersebut kami semakin semangat, jalur yang nantinya kami lewati memang ada dan kami tidk akan membuat jalan yang baru.
setelah kami terkumpul, kami segera memastikan kembali bekal yang akan kami bawa, dan Karena di situasi saat itu hujan turun dengan begitu lambat (gerimis) seorang dari kami mengatakan bahwa tidak usah membawa air terlalu banyak karena terik matahari tidak menyengat. tapi seorang dari kami yang sudah mempunyai pengalaman mendaki gunung mengatakan bahwa air sangatlah penting. Dan saya memutuskan mengikuti aturan dari seorang yang sudah mempunyai pengalaman tersebut. Akhirnya expedisipun di mulai. Perjalanan yang di temani oleh gerimis tak membuat galau, bahkan semangat semakin berapi-api. Dalam perjalan Iswan selalu memotret rumput-rumput yang bentuknya sangat indah. Kami melewati tempat dimana burung manguni memberikan tanda pada beberapa tahun lalu bahwa tempat yang kami tinggalkan sekarang yaitu desa tondei bisa di tinnggali. Saat ini kami mendengar bahwa seorang dari kami pernah menaklukan gunung lolombulan, glendi mengatakan dia bersama kawan-kawannya 3 tahun lalu pernah menaklukan lolombulan. Ketika kami mendegar pernyataan tersebut kami semakin semangat, jalur yang nantinya kami lewati memang ada dan kami tidk akan membuat jalan yang baru.
Perjalanan awal menaklukan lolombulan
yaitu kami harus melewati perkebunan
rarem dan disitu kami mendapti ada tepat membuat gula aren. Rambut yang seperti
tarzan, jenggot yan seperti ahmad dhani membuat saya takut melihat sesosok pria
yang tinggal di tempat itu dan yang paling mengagetkan pria yang membuat gula
aren itu adalah masyarakat desa yang saya tempati, tetapi saya tidak
mengenalinya bahkan baru kali itu saya melihat wajahnya. Pria itu berkata bahwa
hanya dengan membuat gula aren dia bisa membiayai keluarganya yang kecil.
“pohong seho kita pe sumber energy hari esok”! saat itu saya teringat dengan
slogan brenti jo bagate. Selalnjutnya,kami bertanya kepada bapak itu dimana
rute yang akan kami tempuh agar cepat sampai di puncak lolombulan dan bapak itu
menjelaskan jalan yang akan kami lewati juga dia tidak lupa mengingatkan kami
bahwa jangan berteriak jika sudah berada di hutan lolombulan. Kami tidak tahu
mengapa demikian yang pasti pikiran kami adalah bagaimana menaklukan
lolombulan.
Rute pertama memasuki hutan
lolombulan yaitu kami harus melewati sungai yang airnya dingin seperti ec dan baru kali ini saya
melewati kuala yang dingin seperti ec. Saya berpikir air yang mereka jual ke investor
asing adalah salah satu cara membunuh perlahan masyarakat untuk kepetingan
kapitalis, tak lupa kami membawa air sebagai persediaan untuk kami bawa sampai
di puncak lolombulan. Dalam perjalanan kami melintasi rute yang begitu curam,
kami melewati jalan yang digunakan para pemburu yaki, tikus, kuse dan lain
sebagainya. Harusnya hewan yang ada di gunung lolombulan harus dilindungi
karena jika sering di buruh maka populasi-populasinya akan punah. Ketika kami
berada di tengah perjalanan, kami mendapati ada sekelompok wolay yang sedang
asik bermain atau mungkin mereka tidak mengizinkan kami melintasi tempat
tinggal mereka atau…. Perjalan kami
teruskan sampai jam menunjukan 16.30. seorang dari kami mengatakan bahwa kami
harus beristirahat di tempat ini dan langsung membuat tenda untuk menginap
sampai besok, ketika mendengar hal tesebut kami sangat setuju dengan usulan
dari Iswan karena rasa lelah sudah mulai terasa dan kamipun langsung membagi
tugas yaitu membuat tenda, membuat makan malam dan mencari kayu bakar.
Selanjutnya, setelah semua selesai
kami langsung menyalakan lentera yang kecil namun bisa menerangi tempat dimana
kami tempati. Makan malam usai dan kami langsung membuka buku AD/ART sanggar
tumondei minahasa selatan (STMS) untuk memahami kembali apa yang ada di dalam.
Setalah itu kami langsung membagi tugas untuk berjaga malam.
Dinginnya lolombulan membuat kami
merasa tidak nyaman dalam tidur sampai rasa lapar merasukiku sampai pagi.
Ketika terang mulai terlihat kami langsung bergerak dan bersiap melanjutkan
perjalanan menaklukan lolombulan. Sepanjang perjalanan kami selalu memasang pita
di setiap rute yang kami lewati karena jalan yang Glen lewati sudah tidak ada
lagi karena itu, kami membuat jalan yang baru. Saya berpikir apa maksud dari
memasang pita di setiap jalur yang di lewati, hmmmp mungkin ketika kami
tersesat kami bisa mencari kembali pita tersebut. Tak lama bejalan kami
mendapati jalan yang sudah tidak menanjak huuhhh akhirnya kami sudah sampai di
puncak lolombulan dan kami melihat jejak hewan yang mungin sedang bermain, apa
mungkin ini tempat rekreasi meraka? Kami berjalan terus mencari tempat yang
baik untuk beristirahat. Ketika kami mendapat tempat untuk beristirahat rasa
lapar kami mulai terasa dan di saat itupun kami langsung membuat sisa bekal
makanan yang dibawa. Mencuri waktu sesekali saya membersihkan kotoran yang ada
di tubuh saya dan ketika saya melihat kearah kaki saya ada banyak kotoran yang
menempel, saat itu juga saya langsung membersihkannya dan yang mengagetkan saya
adalah kotoran yang ada di kaki saya itu adalah lintah yang sudah semakin
membesar dan banyak menempel di kakiku seketika itu saya ingin sekali berteriak
tetapi saya masih mengingat pesan yang sudah kami dengar sebelumnya bahwa kami
tidak boleh berteriak jika berada di hutan lolombulan. Lintah ini sangat sulit
di singkirkan jika kita langsung menariknya saja, Swadi mengatakan bahwa jika
ingin harus tarik dengan penuh kelembutan dan penuh kasih sayang. Dan ketika
mereka melihat lintah, Vikson, billy, glen, Iswan dan Iswadi langsung membuka
seluruh pakaian mereka dan melihat apakah lintah itu berada pada mereka atau
tidak. Setelah tu kami langsung makan bekal yang sudah di buat.
Sementara kami menikmati makanan,
kami melihat di sebelah kiri kami masih ada puncak yang jauh lebih tinggi dari
tempat yang sedang kami tempati. Dan saat itu juga Glen langsung mengatakan
kepada kami bahwa puncak lolombulan belum di taklukan. Rasah lelah membuatku
ingin berhenti dan langsung kembali ke rumah, tetapi semangat dari teman-teman yang
lainlah yang menbuatku berpikir untuk melanjutkan perjalanan dan menaklukan
lolombulan. Setelah selesai menikmati makanan pagi, kami langsung cepat-cepat
melanjutkan perjalanan. Dan memang saat itu saya berpikir lintah sementara
melancarkan aksinya karena ada banyak darah yang segar yang sedang
beraktivitas. Perjalanan di lanjutkan dengan melintasi jalan yang menurun dan
persediaan air kami sudah habis rasa haus semakin menyiksaku tetapi saya tidak
ingin terpisah dari teman-teman yang sudah berada di depan saya. Jalan yang
begitu banyak jebakan hewan terus kami lewati sampai kami mendengar ada suara air
yang mengalir dengan begitu cepatnya dan bunyi itu membuatku
legah karena akan
segera menyegarkan tenggorokanku. Ketika kami sampai di aliran sungai itu,
ternyata sungai itu adalah tanda bahwa kami akan segerah menanjak untuk mencapi
puncak lolombulan. Kami berhenti sejenak di aliran sungai itu dan memeriksa
apakah masih ada lintah di tubuh kami atau tidak. Saya memperhatikan telinga
Iswan dari arah kurang dari satu meter dan saya langsung mengambil lintah yang
hampir masuk di telingnya. “bae ngana da lia, amper rewong da maso di telinga
pa kitya”, begitulah kata yang keluar dari mulut tonaas wangko sanggar tumondei
menahasa selatan itu. Perjalanan menanjak akan kami lewati dan waktu berada
kira-kira 50 meter dari sungai, kami mendapatkan pohon yang besar yang sudah di
potong oleh para penebang hutan liar, mungkin itu sisa kayu yang tidak di bawa.
Apa jadinya jika penebangan liar terjadi di hutan yang di lindungi? Masa depan
kita akan sia-sia jika pasokan air sudah tidak ada! Dalam pendakian kami
melewati hutan yang penuh dengan berbagai duri yang tajam yang siap masuk dalam
setiap kaki yang tidak perhatian, tidak focus dalam berjalan. Dan buktinya
karena saya sudah tidak fokus saya mengalami kecelakaan yang hampir merusak
kedua bola mata, mungkin karena pengaruh kelelahan atau hmmmp…
Kelelahan Iswadi tidak bisa di tutupi
lagi, buktinya dia selalu tertinggal dan kami sangat memaklumi itu karena dia
membawa keril yang besar dan berisi barang-barang yang berat. Saya memutuskan
untuk berjalan di belakangnya dan mengikuti kecepatan langkahnya. Tak sadar
kami mulai terpisah dengan glen, vikson, dan iswan saat itu kami sudah mendapat
jalan yang rata “mugkinkah ini puncak
lolombulan?” kami terus berjalan dan kami melihat masih ada lagi sekitar
50 meter untuk mencapai puncak. Huuuufft saya melihat Iswadi sudah mulai pucat,
hahhaha…. Kami terus berjalan dan sampai di puncak lolombulan kami sudah tidak bersama
dengan iswan, anto, dan glen, saat itu rasa takut sudah mulai datang. Saya
ingin berteriak namun saya mengingat pesan yang di katakan oleh bapak yang
kemarin.
Di puncak lolombulan ada banyak jalan
yang mengarah untuk turun ke gunung, ketika melihat hal tersebut Iswadi sudah
tidak lagi menghiraukan pantangan yang di katakan, dan saat itu dia langsung
berteriak memanggil yang lainnya dan viksonpun langsung membalas panggilannya,
dan kami langsung bertemu di jalan yang sama untuk menurungi gunung dan
perjalanan pulang kami melewati roong malola. Hufffttt perjalanan yang
melelahkan.
May
24, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar