Laman

Rabu, 23 November 2016

CATATAN LOKON

Seperti biasanya, semalam sebelum branggkat sebagian dari kami sudah terkumpul di kosku. Riski, Apit, Septian, dan Ikat sudah selesai packing sementara perjalan nanti besok jam 10. Tak mengapalah bagiku karena lebih cepat lebih baik.
Pagi datang menyambut kami dengan dinginnya kamarku. Terdengar ketukan dari luar yang sedikit pelan. Pintu kubuka dan terlihat 2 berdiri gagah di depan pintu, yang satu adalah pria dengan janggut yang sedikit panjang dan memakai jaket orange dan yang satu lagi pria yang lebih pendek dari yang sebelumnya dan ternaryata JUfri dan Fijai. Setelah terkumpul sebagian di tempatku, kami kembali mengecek peralatan yang sebelumnya sudah di packing kemudian menuju ke tempat Iswan. Di depan ternyata Reza, Billi, Candi, dan Charli sudah siap dan kami langsung berangkat. Kami tiba di tempat Iswan dan diapun sudah siap dan tanpa perlu basa-basi kami langsung menuju di titik pertemuan kami yaitu di bundaran Tataaran atau di patung manguni yang adalah symbol budaya Minahasa, konon, burung ini adalah pembawa berita dari Opo kasuruan jika ada sesuatu baik ataupun buruk.
Di bundaran Miya dan Cicci sudah menunggu dan melihat banyaknya yang akan ikut akhirnya kami memutuskan untuk bagi menjadi 2 kelompok menuju ke-Tomohon karena seperti biasa kami akan D.O ketika kami tiba di Tomohon Aldi, Ella, Gina, dan Dinan ternyata sudah menunggu kami di jalan menuju kegunung dan kami terkumpul 18 orang. Perjalananpun dimulai dengan arah yang salah yang disampaikan oleh seorang bapak yang sedang bekerja “kalu ngoni mo katas lewat di jalang seblah, kalu disini nda ada jalang” dan kami memutuskan untuk mengikuti saran dari Om (Bapak) tersebut. dalam perjalanan kami bertemu dengan air dan langsung mengisi semua botol-botol dan gallon karena diatas gunung katanya tidak ada air. Kemudian perjalana di lanjutkan. Reza dan Saya mulai tertinggal jauh dari kelompok dan disusul oleh mobil open cap dan bapak itu bersedia hati membawa kami sampai di batas kendaraan. Apid dan kawan-kawan ternyata sudah dekat dengan batas jalan mobil namun bapak yang baik hati dan tidak sombong bersama isterinya bersedia memberikan lagi tumpangan dan 18 orang berada dalam cap yang kecil.
Turun dari kendraan, tak lupa ucapan terima kasih dari kami dan langsung disambut oleh dua arah yang berbeda (jalan) kami memutuskan untuk kekiri. Cuaca saat itu sudah tak bersahabat lagi, curah hujan sudah tiba dan tak mengurung semangat kami karena waktu sudah sore dan kami harus mencari tempat yang datar untuk membuat tenda. Sialnya waktu itu kami bertemu dengan jalan buntu dan akhirnya memutuskan untuk buka jalur (membuat jalan) dan ternyata beberapa dari kami mungkin sudah tak sanggup lagi dan memutuskan untuk turun. Ella, Gina, Candi, Dinan, dan Aldi akan turun dan Aldi sebenarnya masih ingin melanjutkan perjalan tetapi 2 wanita yang akan turun adalah tanggung jawabnya karena sejak dari malam sebelumnya dia yang mengantar mereka. Saat itu sayapun sempat terpikir untuk turun karena melihat meda yang akan kami lewati apalagi kami masih membuat jalan baru tetapi, semngat dari kawan-kawan yang tidak akan turun memberikan motivasi baru dan saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan saat itu kami bertemu dengan jalur lahar yang sudag menjadi got dan itu memudahkan perjalanan kami.
Merasa fisik sudah melemah dan waktu juga sudah menunjukan gelap akan segera tiba, kami memutuskan untuk mencari tempat untuk membuat tenda wwalaupun di tempat yang miring. Makan malampun mulai di persiapkan oleh Della dan Apid, makanan yang setengah matang masuk ditubuh kami dan tidak mengurungkan rasa lapar kami. Ketika malam tiba saya memutuskan untuk tetap berada dalam tenda karena dengan banyak alasan dan salah satunya dingin. Septian dan Billy yang awalnya bersama-sama denganku di dalam tenda kini keluar dan katanya akan membuat kopi. Saya mengingatkan untuk tidak memboroskan air karena persediaan air sudah menipis sementara masih ada satu hari lagi. Apid, Ikat, Charli, dan saya berada di dalam tenda sementara berusah untuk tidur dan saya mendengar Charli mengatakan “saki kit ape gigi” saya tak terlalu menghiraukannya karena seringkali anak yang satu ini berdusta. “Yanli ngana mo menyesal kalu nda mo lia ini, co ngana kaluar” suara yang terdengar dari luar tenda adalah suara Tian yang mengajak untuk bergabung. Sayapun keluar dan meliht keindahan pemandangan Tomohon yang seperti texas yang ada di Amerika :D
Dingin mulai menusuk bak pisau yang di tusukan di lambung, saat itu aku memutuskan untuk tidur dan sudah tak lagi di tenda yang semula melainkan di tendanya Jufri karena seya melihat di dalam tenda hanya dia seorang. Miya dan Cicci mengatakan mereka akan tidur di luar sambil menikmati pemandangan malam. Mendengar hal itu, saya dan Reza langsung masuk dan tidur sampai pagi membangunkan kami dengan sunrise-nya. “betapa indahya pemandangan pagi jika berada di tempat ini” pikirku dalam hati. Sementara menikmati pemandangan pagi, satu persatu dari kami mulai bangun dari tempat tidur dan langsung membuat sarapan pagi sebelum melanjutkan perjalanan menuju ke puncak lokon.
Setelah selesai smokol (sarapan), kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan dan waktu itu tanpa air setetespun. Persediaan air kami sudah habis.
Dengan modal semangat kamipun melanjutkan perjalanan yang tak tahu lamanya. Kami melewati kemiringan dan waktu itu tali yang di bawa sangat membantu kami untuk melewati jalan yang begitu curam. Aku sendiri mulai merasakan dehidrasi yang dasyat yang tak bisa di bending ketika sudah berada satu jam perjalanan dan saat itu tak kusangka ternyata masih ada selain saya yang merasakannya yaitu Apid. Setelah kami merasa sudah memang tak mampu lagi untuk melanjutkan perjalanan, saya dan Apid sepakat untuk turun dan mencari air untuk di minum. Miya dan Cicci yang awalnya sudah terpengaruh dengan kami untuk turun kembali bersemangat ketika Iswan mengatakan perjalan masih sekitar 500 meter dan bisa saya bayangkan betapa jauhnya itu dengan keadaanku yang seperti ini. Akhirnya Ikatpun merasa sudah tak mampu melanjutkan dan turun bersama saya dan Apid. Dalam perjalan kembali ketenda kami bertemu dengan air yang berada disela-sela batu yang kecil dan tak hitung sampai 3 kamipun bergantian menghisap air yang ada di selah-selah batu tersebut. tak puas dengan itu Ikat melihat lumut yang basah kemudian dengan rasa haus yang tidak bisa di tahan, diapun menghisapnya.
Sesampainya di tenda, Saya, Ikat dan Apid langsung packing barang bawaan kami dan Septian dan Charli yang menjaga tenda juga sudah mulai packing karena kami harus turun kebawa untuk membuat makanan buat mereka yang masih berjuang menuju puncak. Kami memasak harus di dekat air dan air berada di perkebunan warga di bawah. Dalam perjalanan turun aku merasa kekosongan memang sudah membungkus tubuh bahkan jiwaku dengan bukti hanya satu sentuhan dari kayu atau apapun yang sedikit menghalangi jalan badanku langsung menuju ketana seperti patung yang jatuh. Berulang-ulang kali seperti itu sampai kami tiba di perkebunan warga, utama yang kami cari adalah air dan tak ada air yang kami temukan, jika ingin menemukan air kami harus menurun lagi kira-kira 300 meter. Perjalanan mulai di lanjutkan setelah sedikit istirahat. “woyyy” terdengar suara yang memanggil dari sabua (gubuk) dan ternyata itu adalah Candi, Aldi, Dinan, Ella dan Gina. Mereka adalah orang-orang yang sebelumnya turun sebelum kami. “ada aer?” teriaku kearah mereka.
“napa ada”. Berlarian kami menuju ke tempat mereka dan meminum air yang berada di derum dan aku melihat air itu penuh dengan cacing-cacing namun kami tak menghiraukan itu yang ada di benak kami hanyalah untuk memuaskan hasrat untuk minum. Setelah selesai minum kami langsung melanjutkan perjalanan menuju tempat memasak yang ada di dekat pancurang. Setelah tiba disana kami langsung menyiapkan makanan untuk mengisi perut yang sudah kosong sejak pagi. Tubuh sedikit terobati kelelahan yang membabibuta, air adalah jawaban. Setelah makanan selesai dibuat kami langsung mengisi perut dengan mujisat itu.
Setelah sekian lama menunggu kini jam menunjukan 04.05 sore. Aldi kemudian mencoba menghubungi mereka lewat handphone dengan sisa batrey yang seadanya “haloo… sodimana ngoni?” Tanya Aldi kepada salah satu dari mereka dan bisa saya pastikan itu suara Iswan ketika los speeker. “datang bawa akang jo Kamari makanan deng aer napa so banyak da pusing di puncak”. Saya sedikit kaget mendengar hal itu namun daricara berbicara tadi ada suara-suara lain yang tertangkap dan saya mendegar tertawa-tawa. Setelah handphone dimatikan saya langsung keluar dari tempat memasak menuju kejalan dan perasaanku benar bahwa mereka Cuma da ba lana’ (berdusta). Makanan pun langsung di bagikan dan air yang utama yang mereka cari pada waktu itu. Hmmpp :D terlihat Billy dengan celanannya yang span seperti celana yang di pakai konser the changcuters kini berjalan tertati-tati dan saya melihat cara berjalannya kaki yang melebar dan bisa saya pastikan pria unik yang satu ini lohang. :D setelah selesai makan kami langsung bersiap untuk kembali dan membutuhkan waktu yang lama walaupun perjalan justru dekat tetapi D.O yang tidak selalu berutung yang kadang memperlambat kami buktinya ketika kami tiba di tondano gelap menyelimuti, kilau gemilau cahaya penerang ciptaan penindas menyambut kami, bulan menari diatas kaki yang lohang. Tertatih-tatih aku berjalan.


Mei 2014

Tidak ada komentar: