Seperti biasanya, semalam sebelum
branggkat sebagian dari kami sudah terkumpul di kosku. Riski, Apit, Septian,
dan Ikat sudah selesai packing sementara perjalan nanti besok jam 10. Tak
mengapalah bagiku karena lebih cepat lebih baik.
Pagi datang menyambut kami dengan
dinginnya kamarku. Terdengar ketukan dari luar yang sedikit pelan. Pintu kubuka
dan terlihat 2 berdiri gagah di depan pintu, yang satu adalah pria dengan
janggut yang sedikit panjang dan memakai jaket orange dan yang satu lagi pria
yang lebih pendek dari yang sebelumnya dan ternaryata JUfri dan Fijai. Setelah
terkumpul sebagian di tempatku, kami kembali mengecek peralatan yang sebelumnya
sudah di packing kemudian menuju ke tempat Iswan. Di depan ternyata Reza,
Billi, Candi, dan Charli sudah siap dan kami langsung berangkat. Kami tiba di
tempat Iswan dan diapun sudah siap dan tanpa perlu basa-basi kami langsung
menuju di titik pertemuan kami yaitu di bundaran Tataaran atau di patung
manguni yang adalah symbol budaya Minahasa, konon, burung ini adalah pembawa
berita dari Opo kasuruan jika ada sesuatu baik ataupun buruk.
Di bundaran Miya dan Cicci sudah
menunggu dan melihat banyaknya yang akan ikut akhirnya kami memutuskan untuk
bagi menjadi 2 kelompok menuju ke-Tomohon karena seperti biasa kami akan D.O
ketika kami tiba di Tomohon Aldi, Ella, Gina, dan Dinan ternyata sudah menunggu
kami di jalan menuju kegunung dan kami terkumpul 18 orang. Perjalananpun
dimulai dengan arah yang salah yang disampaikan oleh seorang bapak yang sedang
bekerja “kalu ngoni mo katas lewat di jalang seblah, kalu disini nda ada
jalang” dan kami memutuskan untuk mengikuti saran dari Om (Bapak) tersebut.
dalam perjalanan kami bertemu dengan air dan langsung mengisi semua botol-botol
dan gallon karena diatas gunung katanya tidak ada air. Kemudian perjalana di
lanjutkan. Reza dan Saya mulai tertinggal jauh dari kelompok dan disusul oleh
mobil open cap dan bapak itu bersedia hati membawa kami sampai di batas
kendaraan. Apid dan kawan-kawan ternyata sudah dekat dengan batas jalan mobil
namun bapak yang baik hati dan tidak sombong bersama isterinya bersedia
memberikan lagi tumpangan dan 18 orang berada dalam cap yang kecil.
Turun dari kendraan, tak lupa ucapan
terima kasih dari kami dan langsung disambut oleh dua arah yang berbeda (jalan)
kami memutuskan untuk kekiri. Cuaca saat itu sudah tak bersahabat lagi, curah
hujan sudah tiba dan tak mengurung semangat kami karena waktu sudah sore dan
kami harus mencari tempat yang datar untuk membuat tenda. Sialnya waktu itu
kami bertemu dengan jalan buntu dan akhirnya memutuskan untuk buka jalur
(membuat jalan) dan ternyata beberapa dari kami mungkin sudah tak sanggup lagi
dan memutuskan untuk turun. Ella, Gina, Candi, Dinan, dan Aldi akan turun dan
Aldi sebenarnya masih ingin melanjutkan perjalan tetapi 2 wanita yang akan
turun adalah tanggung jawabnya karena sejak dari malam sebelumnya dia yang
mengantar mereka. Saat itu sayapun sempat terpikir untuk turun karena melihat
meda yang akan kami lewati apalagi kami masih membuat jalan baru tetapi, semngat
dari kawan-kawan yang tidak akan turun memberikan motivasi baru dan saya
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan saat itu kami bertemu dengan jalur
lahar yang sudag menjadi got dan itu memudahkan perjalanan kami.
Merasa fisik sudah melemah dan waktu
juga sudah menunjukan gelap akan segera tiba, kami memutuskan untuk mencari
tempat untuk membuat tenda wwalaupun di tempat yang miring. Makan malampun
mulai di persiapkan oleh Della dan Apid, makanan yang setengah matang masuk
ditubuh kami dan tidak mengurungkan rasa lapar kami. Ketika malam tiba saya
memutuskan untuk tetap berada dalam tenda karena dengan banyak alasan dan salah
satunya dingin. Septian dan Billy yang awalnya bersama-sama denganku di dalam
tenda kini keluar dan katanya akan membuat kopi. Saya mengingatkan untuk tidak
memboroskan air karena persediaan air sudah menipis sementara masih ada satu
hari lagi. Apid, Ikat, Charli, dan saya berada di dalam tenda sementara berusah
untuk tidur dan saya mendengar Charli mengatakan “saki kit ape gigi” saya tak
terlalu menghiraukannya karena seringkali anak yang satu ini berdusta. “Yanli
ngana mo menyesal kalu nda mo lia ini, co ngana kaluar” suara yang terdengar
dari luar tenda adalah suara Tian yang mengajak untuk bergabung. Sayapun keluar
dan meliht keindahan pemandangan Tomohon yang seperti texas yang ada di Amerika
:D
Dingin mulai menusuk bak pisau yang
di tusukan di lambung, saat itu aku memutuskan untuk tidur dan sudah tak lagi
di tenda yang semula melainkan di tendanya Jufri karena seya melihat di dalam
tenda hanya dia seorang. Miya dan Cicci mengatakan mereka akan tidur di luar
sambil menikmati pemandangan malam. Mendengar hal itu, saya dan Reza langsung
masuk dan tidur sampai pagi membangunkan kami dengan sunrise-nya. “betapa
indahya pemandangan pagi jika berada di tempat ini” pikirku dalam hati.
Sementara menikmati pemandangan pagi, satu persatu dari kami mulai bangun dari
tempat tidur dan langsung membuat sarapan pagi sebelum melanjutkan perjalanan
menuju ke puncak lokon.
Setelah selesai smokol (sarapan),
kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan dan waktu itu tanpa air setetespun.
Persediaan air kami sudah habis.
Dengan modal semangat kamipun
melanjutkan perjalanan yang tak tahu lamanya. Kami melewati kemiringan dan
waktu itu tali yang di bawa sangat membantu kami untuk melewati jalan yang
begitu curam. Aku sendiri mulai merasakan dehidrasi yang dasyat yang tak bisa
di bending ketika sudah berada satu jam perjalanan dan saat itu tak kusangka
ternyata masih ada selain saya yang merasakannya yaitu Apid. Setelah kami
merasa sudah memang tak mampu lagi untuk melanjutkan perjalanan, saya dan Apid
sepakat untuk turun dan mencari air untuk di minum. Miya dan Cicci yang awalnya
sudah terpengaruh dengan kami untuk turun kembali bersemangat ketika Iswan
mengatakan perjalan masih sekitar 500 meter dan bisa saya bayangkan betapa
jauhnya itu dengan keadaanku yang seperti ini. Akhirnya Ikatpun merasa sudah
tak mampu melanjutkan dan turun bersama saya dan Apid. Dalam perjalan kembali
ketenda kami bertemu dengan air yang berada disela-sela batu yang kecil dan tak
hitung sampai 3 kamipun bergantian menghisap air yang ada di selah-selah batu
tersebut. tak puas dengan itu Ikat melihat lumut
yang basah kemudian dengan rasa haus yang tidak bisa di tahan, diapun menghisapnya.
Sesampainya di tenda, Saya, Ikat dan
Apid langsung packing barang bawaan kami dan Septian dan Charli yang menjaga
tenda juga sudah mulai packing karena kami harus turun kebawa untuk membuat
makanan buat mereka yang masih berjuang menuju puncak. Kami memasak harus di
dekat air dan air berada di perkebunan warga di bawah. Dalam perjalanan turun
aku merasa kekosongan memang sudah membungkus tubuh bahkan jiwaku dengan bukti
hanya satu sentuhan dari kayu atau apapun yang sedikit menghalangi jalan badanku
langsung menuju ketana seperti patung yang jatuh. Berulang-ulang kali seperti
itu sampai kami tiba di perkebunan warga, utama yang kami cari adalah air dan
tak ada air yang kami temukan, jika ingin menemukan air kami harus menurun lagi
kira-kira 300 meter. Perjalanan mulai di lanjutkan setelah sedikit istirahat.
“woyyy” terdengar suara yang memanggil dari
sabua (gubuk) dan ternyata itu adalah Candi, Aldi, Dinan, Ella dan Gina.
Mereka adalah orang-orang yang sebelumnya turun sebelum kami. “ada aer?” teriaku
kearah mereka.
“napa ada”. Berlarian kami menuju ke
tempat mereka dan meminum air yang berada di derum dan aku melihat air itu
penuh dengan cacing-cacing namun kami tak menghiraukan itu yang ada di benak
kami hanyalah untuk memuaskan hasrat untuk minum. Setelah selesai minum kami
langsung melanjutkan perjalanan menuju tempat memasak yang ada di dekat
pancurang. Setelah tiba disana kami langsung menyiapkan makanan untuk mengisi
perut yang sudah kosong sejak pagi. Tubuh sedikit terobati kelelahan yang membabibuta,
air adalah jawaban. Setelah makanan selesai dibuat kami langsung mengisi perut
dengan mujisat itu.
Setelah sekian lama menunggu kini jam
menunjukan 04.05 sore. Aldi kemudian mencoba menghubungi mereka lewat handphone
dengan sisa batrey yang seadanya “haloo… sodimana ngoni?” Tanya Aldi kepada
salah satu dari mereka dan bisa saya pastikan itu suara Iswan ketika los
speeker. “datang bawa akang jo Kamari makanan deng aer napa so banyak da pusing
di puncak”. Saya sedikit kaget mendengar hal itu namun daricara berbicara tadi
ada suara-suara lain yang tertangkap dan saya mendegar tertawa-tawa. Setelah
handphone dimatikan saya langsung keluar dari tempat memasak menuju kejalan dan
perasaanku benar bahwa mereka Cuma da ba
lana’ (berdusta). Makanan pun langsung di bagikan dan air yang utama yang
mereka cari pada waktu itu. Hmmpp :D terlihat Billy dengan celanannya yang span
seperti celana yang di pakai konser the changcuters kini berjalan tertati-tati
dan saya melihat cara berjalannya kaki yang melebar dan bisa saya pastikan pria
unik yang satu ini lohang. :D setelah selesai makan kami langsung bersiap untuk
kembali dan membutuhkan waktu yang lama walaupun perjalan justru dekat tetapi
D.O yang tidak selalu berutung yang kadang memperlambat kami buktinya ketika
kami tiba di tondano gelap menyelimuti, kilau gemilau cahaya penerang ciptaan
penindas menyambut kami, bulan menari diatas kaki yang lohang. Tertatih-tatih
aku berjalan.
Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar