Laman

Rabu, 23 November 2016

LOLOMBULAN YANG KUCINTAI


Sejak rapat perdana sanggar tumondei minahasa selatan dilaksanakan, kami bersepakat  dalam rapat program akan mengadakan expedisi. Dan expedisi yang pertama akan dilaksanakan di gunung lolombulan.Dari tondano saya, Billy dan Vikson Wongkar akan mengarah ke desa Tondei untuk menyukseskan program yang

Sungai yang dingin pelepas dahaga
 sudah disepakati bersama. Kira-kira jam 12.00 wita. kami tiba di desa Tondei dan tak selang beberapa saat beristirahat Billy yang dengan begitu semangatnya langsung mendatangi rumahku, dan langsung mengajakku untuk pergi ke rumah Iswadi dan Iswan yang adalah tonaas wangko dan tua inlukar di sanggar tumondei minahasa selatatan. Setelah mendengar pernyataan dari  Iswan dan Iswadi bahwa mereka sudah siap untuk berangkat menuju ke lolombulan. Saya dan billy langsung menuju ke rumah Vikson dan langsung menginformasikan bahwa akan melaksanakan expedisi. tak lupa kami mengajak tonaas stms Glendi wongkar.Saat terkumpul, segera kami pastikan kembali bekal  yang akan dibawa Karena di situasi saat itu hujan gerimis. Seorang dari kami mengatakan bahwa tak usah membawa air terlalu banyak karena terik matahari tidak menyengat. tapi seorang dari kami yang sudah mempunyai pengalaman mendaki gunung mengatakan bahwa air sangatlah penting maka dari itu, saya memutuskan mengikuti aturan dari seorang yang sudah mempunyai pengalaman tersebut. Akhirnya expedisipun di mulai. Perjalanan yang di temani oleh gerimis tak membuat galau, bahkan semangat semakin berapi-api. diperjalan Iswan selalu memotret rumput-rumput yang bentuknya indah. Kami melewati tempat dimana burung manguni memberikan tanda pada beberapa ratus tahun lalu, bahwa tempat yang kami huni sekarang, yaitu desa Tondei bisa ditinggali. Saat ini kami mendengar bahwa seorang dari kami pernah menaklukan gunung lolombulan, Glendi mengatakan dia bersama kawan-kawannya 3 tahun lalu pernah menaklukan lolombulan. seketika itu kami  semakin semangat karena menurutnya, jalur yang nantinya kami lewati memang ada dan kami tidak akan kesulitan untuk mencari jalan.Perjalanan awal menaklukan lolombulan yaitu kami  harus melewati perkebunan rarem, (kata rarem dalam bahasa tontemboan berarti di bawah) dari disitu kami mendapati ada tepat pembuatan gula aren. Rambut seperti tarzan, jenggot yang seperti ahmad dhani membuat saya takut melihat sesosok pria yang tinggal di tempat itu dan yang paling mengagetkan pria yang membuat gula aren itu adalah masyarakat desa yang saya tempati. Tetapi tak ku mengenalnya bahkan baru kali itu saya melihat wajahnya. 
Yanli, Swadi, Rianto, Billy

Pria itu berkata bahwa hanya dengan membuat gula aren dia bisa membiayai keluarganya yang kecil. “pohong seho kita pe sumber energy hari esok”! saat itu saya teringat dengan slogan brenti jo bagate. Selalnjutnya, kami bertanya kepada bapak itu dimana rute yang akan kami tempuh agar cepat sampai dipuncak lolombulan dan bapak itu menjelaskan jalan yang akan kami lewati. Dia juga mengingatkan, bahwa jangan berteriak jika sudah berada di hutan lolombulan. Tak tahu mengapa demikian yang pasti dalam benak kami adalah bagaimana untuk sampai dipuncak lolombulan.Rute pertama memasuki hutan lolombulan yaitu, harus melintasi sungai yang airnya  dingin seperti ice. Baru kali ini saya melewati kuala yang dingin seperti ice. Saya berpikir air yang mereka jual ke investor asing adalah salah satu cara membunuh perlahan masyarakat untuk kepetingan kapitalis. tak lupa kami membawa air sebagai persediaan untuk sampai dipuncak lolombulan. diperjalanan kami melintasi rute yang begitu curam. kami melewati jalan yang digunakan para pemburu yaki, tikus, kuse dan lain sebagainya. Harusnya hewan yang ada di gunung lolombulan harus dilindungi karena jika sering di buruh maka populasinya akan punah. Saat berada ditengah perjalanan, kami mendapati ada sekelompok wolay (yaki) yang sedang asik bermain. dalam pikirku, mungkin mereka tidak mengizinkan kami melintasi tempat tinggal mereka  atau sepert apa? perjalan kami teruskan sampai jam menunjukan 16.30 wita. Seorang dari kami mengatakan bahwa kami harus beristirahat ditempat ini dan langsung membuat tenda untuk menginap sampai besok. Mendengar hal tesebut kami sangat setuju dengan usulan dari Iswan karena rasa 
Sementara Memasak
lelah mulai terasa dan kami pun langsung membagi tugas membuat tenda, membuat makan malam, dan mencari kayu bakar.Selanjutnya setelah semua selesai kami langsung menyalakan lentera yang kecil namun bisa menerangi tempat yang kami tempati. Makan malam usai dan kami langsung membuka buku AD/ART sanggar tumondei minahasa selatan (STMS) untuk memahami kembali apa yang ada di dalam. Setalah itu kami langsung membagi tugas untuk berjaga malam.Dinginnya lolombulan membuat kami merasa tidak nyaman dalam tidur sampai rasa lapar merasukiku sampai pagi. Ketika terang mulai terlihat kami langsung bergerak dan bersiap melanjutkan perjalanan menaklukan lolombulan. Sepanjang perjalanan kami selalu memasang pita di setiap rute yang kami lewati karena jalan yang Glen lewati sudah tidak ada lagi karena itu, kami membuat jalan yang baru. Saya berpikir apa maksud dari memasang pita di setiap jalur yang di lewati? hmmmp ... mungkin ketika kami tersesat kami bisa mencari kembali pita tersebut. Tak lama bejalan kami mendapati jalan yang sudah tidak menanjak. akhirnya sudah sampai dipuncak lolombulan dan kami melihat jejak hewa

Sedang memasak
n yang mungkin sedang bermain atau mungkin ini tempat rekreasi meraka? Kami berjalan terus mencari tempat yang baik untuk beristirahat. Saat mendapat tempat untuk beristirahat rasa lapar mulai terasa dan disaat itu pun kami langsung masak sisa bekal makanan yang dibawa. Mencuri waktu sesekali saya membersihkan kotoran yang ada di tubuh saya dan seketika saya melihat kearah kaki, ada banyak kotoran yang menempel, saat itu juga saya langsung membersihkannya dan yang mengagetkan saya adalah kotoran yang ada di kaki saya itu adalah lintah yang sudah semakin membesar dan banyak menempel di kakiku seketika itu saya ingin sekali berteriak tetapi saya masih mengingat pesan yang sudah sisampaikan sebelumnya bahwa kami tidak boleh berteriak jika berada di hutan lolombulan. Lintah ini sangat sulit di singkirkan jika kita langsung menariknya. Swadi mengatakan, bahwa jika ingin menyingkirkan, tarik dengan penuh kelembutan dan penuh kasih sayang. Dan ketika mereka melihat lintah, Vikson, Billy, Glen, Iswan dan Iswadi langsung membuka seluruh pakaian mereka dan melihat apakah lintah itu berada pada mereka atau tidak. Setelah itu kami langsung makan bekal yang sudah dibuat.Sementara kami menikmati makanan, terlihat disebelah kiri kami masih ada puncak yang jauh lebih tinggi dari tempat yang sedang kami tempati. Dan saat itu juga Glen langsung mengatakan kepada kami bahwa puncak lolombulan belum di taklukan. Rasah lelah membuatku ingin berhenti dan langsung kembali ke rumah. tetapi, semangat dari teman-teman yang lainlah yang menbuatku berpikir untuk melanjutkan perjalanan dan menaklukan lolombulan. Setelah selesai menikmati makanan pagi, sesegera mungkin langsung melanjutkan perjalanan. Dan memang saat itu saya berpikir lintah sementara melancarkan aksinya karena ada banyak darah yang segar yang sedang beraktivitas. Perjalanan di lanjutkan dengan melintasi jalan yang menurun dan persediaan air kami sudah habis rasa haus semakin menyiksaku tetapi saya tidak ingin terpisah dari teman-teman yang sudah berada di depan. Jalan yang begitu banyak jebakan hewan terus kami lewati sampai kami mendengar ada suara air yang mengalir dengan begitu cepatnya dan bunyi itu membuatku legah karena akan segera menyegarkan tenggorokanku. Ketika kami sampai di aliran sungai itu, ternyata sungai itu adalah tanda bahwa kami akan segerah menanjak untuk mencapai puncak lolombulan. Kami berhenti sejenak dialiran sungai itu dan memeriksa apakah masih ada lintah di tubuh kami atau tidak. Saya memperhat
Perbuatan Linta Lolombulan
ikan telinga Iswan dari arah kurang dari satu meter dan saya langsung mengambil lintah yang hampir masuk di telingnya. “bae ngana da lia, amper rewong da maso di telinga pa kitya”, begitulah kata yang keluar dari mulut tonaas wangko sanggar tumondei menahasa selatan itu. Perjalanan menanjak akan kami lewati dan waktu berada kira-kira 50 meter dari sungai, kami mendapatkan pohon yang besar yang sudah di potong oleh para penebang hutan liar. Mungkin itu sisa kayu yang tidak di bawa. Apa jadinya jika penebangan liar terjadi di hutan yang dilindungi? Masa depan kita akan sia-sia jika pasokan air sudah tidak ada! Dalam pendakian kami melewati hutan yang penuh dengan berbagai duri yang tajam yang siap masuk dalam setiap kaki yang tidak perhatian dan tidak focus dalam berjalan. Kelelahan Iswadi tidak bisa di tutupi lagi. Buktinya dia selalu tertinggal dan kami sangat memaklumi itu karena dia membawa carrier yang besar dan berisi barang-barang yang berat. Saya memutuskan untuk berjalan di belakangnya dan mengikuti kecepatan langkahnya. Tak sadar kami mulai terpisah dengan Glen, Vikson, dan Iswan. Saat itu kami sudah mendapat jalan yang datar, “mugkinkah ini puncak  lolombulan?” kami terus berjalan dan kami melihat masih ada lagi sekitar 50 meter untuk mencapai puncak. Huuuufft ... saya melihat Iswadi sudah mulai pucat. hahhaha…. Kami terus berjalan dan sampai di puncak lolombulan kami sudah tidak bersama dengan Iswan, Anto, dan Gllen. Saat itu rasa takut datang. Saya ingin berteriak namun saya mengingat pesan yang dikatakan oleh bapak yang kemarin.
Dipuncak lolombulan ada banyak jalan yang mengarah untuk turun ke gunung, ketika melihat hal tersebut Iswadi sudah tidak lagi menghiraukan pantangan yang di katakan, dan saat itu dia langsung berteriak memanggil yang lainnya dan Vikson pun langsung membalas panggilannya. Kami langsung bertemu di jalan yang sama untuk turun gunung dan perjalanan pulang kami melewati roong (desa) Malola. Hufffttt perjalanan yang melelahkan.                                                                                                            May 24, 2013

Tidak ada komentar: