Sejak rapat perdana sanggar
tumondei minahasa selatan dilaksanakan, kami bersepakat dalam rapat program akan mengadakan expedisi. Dan expedisi yang pertama akan dilaksanakan di
gunung lolombulan.Dari tondano saya, Billy dan Vikson Wongkar akan mengarah ke desa Tondei untuk menyukseskan program yang
sudah disepakati bersama. Kira-kira jam 12.00 wita. kami tiba di desa Tondei dan tak selang beberapa saat beristirahat Billy yang dengan begitu semangatnya langsung
mendatangi rumahku, dan langsung mengajakku untuk pergi ke rumah Iswadi dan
Iswan yang adalah tonaas wangko dan tua inlukar di sanggar tumondei minahasa
selatatan. Setelah mendengar pernyataan dari
Iswan dan Iswadi bahwa mereka sudah siap untuk berangkat menuju ke
lolombulan. Saya dan billy langsung menuju ke rumah Vikson dan langsung
menginformasikan bahwa akan melaksanakan expedisi. tak lupa kami mengajak
tonaas stms Glendi wongkar.Saat terkumpul, segera kami pastikan kembali bekal yang akan dibawa Karena di situasi
saat itu hujan gerimis. Seorang dari kami
mengatakan bahwa tak usah membawa air terlalu banyak karena terik matahari
tidak menyengat. tapi seorang dari kami yang sudah mempunyai pengalaman mendaki
gunung mengatakan bahwa air sangatlah penting maka dari itu, saya memutuskan mengikuti
aturan dari seorang yang sudah mempunyai pengalaman tersebut. Akhirnya
expedisipun di mulai. Perjalanan yang di temani oleh gerimis tak membuat galau,
bahkan semangat semakin berapi-api. diperjalan Iswan selalu memotret
rumput-rumput yang bentuknya indah. Kami melewati tempat dimana burung
manguni memberikan tanda pada beberapa ratus tahun lalu, bahwa tempat yang kami huni sekarang, yaitu desa Tondei bisa ditinggali. Saat ini kami
mendengar bahwa seorang dari kami pernah menaklukan gunung lolombulan, Glendi
mengatakan dia bersama kawan-kawannya 3 tahun lalu pernah menaklukan lolombulan. seketika itu kami semakin semangat karena menurutnya, jalur yang
nantinya kami lewati memang ada dan kami tidak akan kesulitan untuk mencari jalan.Perjalanan awal menaklukan lolombulan
yaitu kami harus melewati perkebunan rarem, (kata rarem dalam bahasa tontemboan berarti di bawah) dari disitu kami mendapati ada tepat pembuatan gula aren. Rambut seperti
tarzan, jenggot yang seperti ahmad dhani membuat saya takut melihat sesosok pria
yang tinggal di tempat itu dan yang paling mengagetkan pria yang membuat gula
aren itu adalah masyarakat desa yang saya tempati. Tetapi tak ku mengenalnya bahkan baru kali itu saya melihat wajahnya.
Pria itu berkata bahwa hanya dengan membuat gula aren dia bisa membiayai keluarganya yang kecil. “pohong seho kita pe sumber energy hari esok”! saat itu saya teringat dengan slogan brenti jo bagate. Selalnjutnya, kami bertanya kepada bapak itu dimana rute yang akan kami tempuh agar cepat sampai dipuncak lolombulan dan bapak itu menjelaskan jalan yang akan kami lewati. Dia juga mengingatkan, bahwa jangan berteriak jika sudah berada di hutan lolombulan. Tak tahu mengapa demikian yang pasti dalam benak kami adalah bagaimana untuk sampai dipuncak lolombulan.Rute pertama memasuki hutan lolombulan yaitu, harus melintasi sungai yang airnya dingin seperti ice. Baru kali ini saya melewati kuala yang dingin seperti ice. Saya berpikir air yang mereka jual ke investor asing adalah salah satu cara membunuh perlahan masyarakat untuk kepetingan kapitalis. tak lupa kami membawa air sebagai persediaan untuk sampai dipuncak lolombulan. diperjalanan kami melintasi rute yang begitu curam. kami melewati jalan yang digunakan para pemburu yaki, tikus, kuse dan lain sebagainya. Harusnya hewan yang ada di gunung lolombulan harus dilindungi karena jika sering di buruh maka populasinya akan punah. Saat berada ditengah perjalanan, kami mendapati ada sekelompok wolay (yaki) yang sedang asik bermain. dalam pikirku, mungkin mereka tidak mengizinkan kami melintasi tempat tinggal mereka atau sepert apa? perjalan kami teruskan sampai jam menunjukan 16.30 wita. Seorang dari kami mengatakan bahwa kami harus beristirahat ditempat ini dan langsung membuat tenda untuk menginap sampai besok. Mendengar hal tesebut kami sangat setuju dengan usulan dari Iswan karena rasa
lelah mulai terasa dan kami pun langsung membagi
tugas membuat tenda, membuat makan malam, dan mencari kayu bakar.Selanjutnya setelah semua selesai
kami langsung menyalakan lentera yang kecil namun bisa menerangi tempat yang kami tempati. Makan malam usai dan kami langsung membuka buku AD/ART sanggar
tumondei minahasa selatan (STMS) untuk memahami kembali apa yang ada di dalam.
Setalah itu kami langsung membagi tugas untuk berjaga malam.Dinginnya lolombulan membuat kami
merasa tidak nyaman dalam tidur sampai rasa lapar merasukiku sampai pagi.
Ketika terang mulai terlihat kami langsung bergerak dan bersiap melanjutkan
perjalanan menaklukan lolombulan. Sepanjang perjalanan kami selalu memasang pita
di setiap rute yang kami lewati karena jalan yang Glen lewati sudah tidak ada
lagi karena itu, kami membuat jalan yang baru. Saya berpikir apa maksud dari
memasang pita di setiap jalur yang di lewati? hmmmp ... mungkin ketika kami
tersesat kami bisa mencari kembali pita tersebut. Tak lama bejalan kami
mendapati jalan yang sudah tidak menanjak. akhirnya sudah sampai dipuncak lolombulan dan kami melihat jejak hewa
n yang mungkin sedang bermain atau mungkin ini tempat rekreasi meraka? Kami berjalan terus mencari tempat yang
baik untuk beristirahat. Saat mendapat tempat untuk beristirahat rasa
lapar mulai terasa dan disaat itu pun kami langsung masak sisa bekal
makanan yang dibawa. Mencuri waktu sesekali saya membersihkan kotoran yang ada
di tubuh saya dan seketika saya melihat kearah kaki, ada banyak kotoran yang
menempel, saat itu juga saya langsung membersihkannya dan yang mengagetkan saya
adalah kotoran yang ada di kaki saya itu adalah lintah yang sudah semakin
membesar dan banyak menempel di kakiku seketika itu saya ingin sekali berteriak
tetapi saya masih mengingat pesan yang sudah sisampaikan sebelumnya bahwa kami
tidak boleh berteriak jika berada di hutan lolombulan. Lintah ini sangat sulit
di singkirkan jika kita langsung menariknya. Swadi mengatakan, bahwa jika
ingin menyingkirkan, tarik dengan penuh kelembutan dan penuh kasih sayang. Dan ketika
mereka melihat lintah, Vikson, Billy, Glen, Iswan dan Iswadi langsung membuka
seluruh pakaian mereka dan melihat apakah lintah itu berada pada mereka atau
tidak. Setelah itu kami langsung makan bekal yang sudah dibuat.Sementara kami menikmati makanan,
terlihat disebelah kiri kami masih ada puncak yang jauh lebih tinggi dari
tempat yang sedang kami tempati. Dan saat itu juga Glen langsung mengatakan
kepada kami bahwa puncak lolombulan belum di taklukan. Rasah lelah membuatku
ingin berhenti dan langsung kembali ke rumah. tetapi, semangat dari teman-teman
yang lainlah yang menbuatku berpikir untuk melanjutkan perjalanan dan
menaklukan lolombulan. Setelah selesai menikmati makanan pagi, sesegera mungkin langsung melanjutkan perjalanan. Dan memang saat itu saya berpikir lintah
sementara melancarkan aksinya karena ada banyak darah yang segar yang sedang
beraktivitas. Perjalanan di lanjutkan dengan melintasi jalan yang menurun dan
persediaan air kami sudah habis rasa haus semakin menyiksaku tetapi saya tidak
ingin terpisah dari teman-teman yang sudah berada di depan. Jalan yang
begitu banyak jebakan hewan terus kami lewati sampai kami mendengar ada suara air
yang mengalir dengan begitu cepatnya dan bunyi itu membuatku legah karena akan
segera menyegarkan tenggorokanku. Ketika kami sampai di aliran sungai itu,
ternyata sungai itu adalah tanda bahwa kami akan segerah menanjak untuk mencapai
puncak lolombulan. Kami berhenti sejenak dialiran sungai itu dan memeriksa
apakah masih ada lintah di tubuh kami atau tidak. Saya memperhat
ikan telinga
Iswan dari arah kurang dari satu meter dan saya langsung mengambil lintah yang
hampir masuk di telingnya. “bae ngana da lia, amper rewong da maso di telinga
pa kitya”, begitulah kata yang keluar dari mulut tonaas wangko sanggar tumondei
menahasa selatan itu. Perjalanan menanjak akan kami lewati dan waktu berada
kira-kira 50 meter dari sungai, kami mendapatkan pohon yang besar yang sudah di
potong oleh para penebang hutan liar. Mungkin itu sisa kayu yang tidak di bawa.
Apa jadinya jika penebangan liar terjadi di hutan yang dilindungi? Masa depan
kita akan sia-sia jika pasokan air sudah tidak ada! Dalam pendakian kami
melewati hutan yang penuh dengan berbagai duri yang tajam yang siap masuk dalam
setiap kaki yang tidak perhatian dan tidak focus dalam berjalan. Kelelahan Iswadi tidak bisa di tutupi
lagi. Buktinya dia selalu tertinggal dan kami sangat memaklumi itu karena dia
membawa carrier yang besar dan berisi barang-barang yang berat. Saya memutuskan
untuk berjalan di belakangnya dan mengikuti kecepatan langkahnya. Tak sadar
kami mulai terpisah dengan Glen, Vikson, dan Iswan. Saat itu kami sudah mendapat
jalan yang datar, “mugkinkah ini puncak
lolombulan?” kami terus berjalan dan kami melihat masih ada lagi sekitar
50 meter untuk mencapai puncak. Huuuufft ... saya melihat Iswadi sudah mulai pucat. hahhaha…. Kami terus berjalan dan sampai di puncak lolombulan kami sudah tidak bersama
dengan Iswan, Anto, dan Gllen. Saat itu rasa takut datang. Saya
ingin berteriak namun saya mengingat pesan yang dikatakan oleh bapak yang
kemarin.
Dipuncak lolombulan ada banyak jalan yang mengarah untuk turun ke gunung, ketika melihat hal tersebut Iswadi sudah tidak lagi menghiraukan pantangan yang di katakan, dan saat itu dia langsung berteriak memanggil yang lainnya dan Vikson pun langsung membalas panggilannya. Kami langsung bertemu di jalan yang sama untuk turun gunung dan perjalanan pulang kami melewati roong (desa) Malola. Hufffttt perjalanan yang melelahkan. May 24, 2013
Sungai yang dingin pelepas dahaga |
Yanli, Swadi, Rianto, Billy |
Pria itu berkata bahwa hanya dengan membuat gula aren dia bisa membiayai keluarganya yang kecil. “pohong seho kita pe sumber energy hari esok”! saat itu saya teringat dengan slogan brenti jo bagate. Selalnjutnya, kami bertanya kepada bapak itu dimana rute yang akan kami tempuh agar cepat sampai dipuncak lolombulan dan bapak itu menjelaskan jalan yang akan kami lewati. Dia juga mengingatkan, bahwa jangan berteriak jika sudah berada di hutan lolombulan. Tak tahu mengapa demikian yang pasti dalam benak kami adalah bagaimana untuk sampai dipuncak lolombulan.Rute pertama memasuki hutan lolombulan yaitu, harus melintasi sungai yang airnya dingin seperti ice. Baru kali ini saya melewati kuala yang dingin seperti ice. Saya berpikir air yang mereka jual ke investor asing adalah salah satu cara membunuh perlahan masyarakat untuk kepetingan kapitalis. tak lupa kami membawa air sebagai persediaan untuk sampai dipuncak lolombulan. diperjalanan kami melintasi rute yang begitu curam. kami melewati jalan yang digunakan para pemburu yaki, tikus, kuse dan lain sebagainya. Harusnya hewan yang ada di gunung lolombulan harus dilindungi karena jika sering di buruh maka populasinya akan punah. Saat berada ditengah perjalanan, kami mendapati ada sekelompok wolay (yaki) yang sedang asik bermain. dalam pikirku, mungkin mereka tidak mengizinkan kami melintasi tempat tinggal mereka atau sepert apa? perjalan kami teruskan sampai jam menunjukan 16.30 wita. Seorang dari kami mengatakan bahwa kami harus beristirahat ditempat ini dan langsung membuat tenda untuk menginap sampai besok. Mendengar hal tesebut kami sangat setuju dengan usulan dari Iswan karena rasa
Sementara Memasak |
Sedang memasak |
Perbuatan Linta Lolombulan |
Dipuncak lolombulan ada banyak jalan yang mengarah untuk turun ke gunung, ketika melihat hal tersebut Iswadi sudah tidak lagi menghiraukan pantangan yang di katakan, dan saat itu dia langsung berteriak memanggil yang lainnya dan Vikson pun langsung membalas panggilannya. Kami langsung bertemu di jalan yang sama untuk turun gunung dan perjalanan pulang kami melewati roong (desa) Malola. Hufffttt perjalanan yang melelahkan. May 24, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar