Ekspedisi gunung lolombulan bersama Sanggar Tumondei 2013 |
Panggil aku Lolombulan. Nama ini diberikan padaku kerena kehidupanku berada
di kaki gunung Lolombulan desa yang diapit oleh dua gunung yang melambangkan
surga bagi desaku yang penuh dengan limpah. Sehari-hari aktivitasku
memenjarakan diri dalam kamar membuat sesuatu yang tak berfaedah, mulai dari
rokok, alcohol, narkoba, bahkan kamarku dibuat terlihat seperti club malam yang
disinggahi para manusia yang puncak libido berada diatas rata-rata. Yah wajar
saja hidup ini seorang diri dan memerlukan penjara setan demi kenikmatan. Hmmm
… mungkin saja ini kenikmatan setan karena tuhan pun tak mendengar
kelukesahku seumpama dunia menikam rasa keheningan pun tetap dia
menghiraukanku.
Selanjutnya ketololanku
mengiayakan setiap minggunya harus ke gereja mendengar kebohongan mimbar yang
sendirinyapun melakukan hal sinting.
“Dunia ini penuh dengan
ketamakan lihat saja jemaat kita semakin sedikit yang beribadah namun setiap
malamnya warung-warung penuh dengan kumpulan setan yang merasuk diri setiap
kita. Katakan amin saudaraku! Tuhan mengasihi kita yang masih setia sampai saat
ini berada dirumah-Nya” ucap seorang yang berdiri megah dengan wibawa di atas
mimbar.
Smokol tadi rasanya ingin keluar semua dari usus yang sementara beroprasi atau
mungkin kubiarkan dia menjadi tai dan masuk di toilet beserta
ucapan-ucapannya. Anehnya diri ini tetap ikut setiap minggunya diperkumpulan
ini atau mungkin demi pencitraan semata seolah terlihat sebagai manusia penuh
roh kudus.
“jangan biarkan para
sahabat-sahabat kita terperangkap dalam lumbung yang tak dapat lagi
diselamatkan jika mereka sendirian. Marilah saudaraku kita bawa mereka ke rumah
tuhan dengan membuat cinta dan kasih sebagai dasar iman percaya kita untuk
menghadap yang maha kuasa. Sesungguhnya tuhan tidak akan tinggal diam dalam
kerjamu” sebut seorang yang berdiri megah diatas mimbar.
Seusainya, kebiasaan saling bersalaman sebelum pulang dan kebetulan uangku
habis. Kini lima orang didepanku akan bersalaman dengan si pria dengan jubah
hitam yang dikenakannya. Terdengar olehku setiap salaman selalu ada kata “puji
tuhan, makase neh” seorang berikut “puji tuhan, makase neh” berikutnya pun
tetap demikian ucapan yang sama tetap keluar dari si jubah hitam. Kini
giliranku dengan tangan kosong menggenggam tangan si jubah dan “berkat tuhan
mari hitunglah. Jangan stenga-stenga untuk hamba tuhan saudaraku” ucapannya
senyum tapi tetap itu adalah sindiran untukku karena tangan kosong menggenggam
tangannya.
Menjadi kebiasaan saya dan beberapa teman setiap hari minggu menuju Manado.
Butuh waktu 3 jam dari desaku untuk mendapatkan kota yang penuh dengan sampah
malam. Biarku sebut itu sampah malam karena setiapnya kutemukan para
wanita-wanita desa datang melacur demi menghendaki diri mendapatkan pakaian ala
korea, kosmetik yang berlabel internasional. Haaa … biarkan
saja diriku pun tetap demikian penuh dengan kemabukan. Setibanya kami langung
mencari bar ternama untuk memenuhi hasrat kekinian manusia rakus. Aku rakus
bagaimana mungkin kubiarkan nafsuku sendiri tanpa ada pelampiasan. Sesungguhnya
para manusia yang berada di gereja tadi pun demikian. Dan harus dibanggakan nafsu
yang diberikanNya ini.
“wey Lolombulan co nga
lia kwa tu sana. Apa ona’ itu e tu tanta lolombulan?” ucap seorang dari kami.
“wey iyo reeng nge
Lolombulan sana e. Pelayan di greja ona’ tu tanta itu e?” sambung yang lain dengan penuh keheranan.
Ekspedisi gunung lolombulan bersama Sanggar Tumondei 2013 |
Ha … bagiku biarkan saja dia lantaran siapapun berhak mengunjungi tempat
ini. sesungguhnya tempat ini bagian dari ciptaan para penindas untuk memuaskan
karunia pencipta. Yang aneh saat kucoba palingkan empat puluh derajat leher
yang kelelahan ini kutemui si jubah hitam tadi berada disampingnya pikir awalku
dia bersama suaminya ternyata bukan demikian. Kedua bibir itu kini terlihat
menunjukan posisi siap menyambar. Yahh hitungan ketigaku belum selesai nampak
senjata tak bertulang saling berguling di bawah lampu diskotik beserta
music remix yang menggema. Sedikitnya mata ini tak mau
berkedip gaya eropa itu begitu liar berperang satu dengan yang lainnya
mempertontokan sedikitnya ratusan pengunjung tempat ini.
“adoh setang tu tanta
sana so bahugel ona e? di pilar (perkebunan) ona’
tu Alo ja ba captikus akang
nge. Kita tahu dia ja tinggal di pilar. Njo torang pukul jo tu laki-laki setang
sana kong torang se malu tu tanta ityu” ucap Lo’or dengan wajah
geram yang siap menerjang tabrakan liar disana.
“biar jo nanti kita jo
tu ba dekat pa dorang. Mota kage dorang kalu mo lia torang da lia dia”
sambungku untuk menjauhkan kekacauan. Lo’or dikenal di desaku adalah pria yang
pencari keributan padahal setelah kucoba bergaul dengannya justru pikiran
liarku terhadapnya salah. Emosi saja yang tak bisa dikontrol olehnya apalagi
bersama dengan teman lain yang memanfaatkan dirinya.
“Malam bae Pendeta” ucapku disamping mereka yang asik berfantasi dengan
kenikmatan. Mendengar suara yang keluar tadi sontak kenikmatan dari tabrakan
liar bibir yang ta lem terpisah. Wajah yang geram berpaling menghadapku
soalah merasa aku adalah Polisi yang siap menilang wanitanya karena tak
mempunyai SIM. Cahaya remang membuat si jubah tak mengenaliku bahkan
seolah felungku kiri siap menancap pipi kiri laki-laki sepi
ini.
“kiapa mo apa? Kita so
klar ba pesan dang tadi” pikir si jubah aku adalah seorang pelayan di tempat
itu. Wanita disamping si jubah mengarahkan wajahnya memerah dan kaget penuh
ketakutan tergambar pada ekspresi.
“eh ada reeng Lolombulan
disini. Sapa-sapa ngoni? Napa kwa tanta deng pendeta ada kunjungan orang saki
tadi mar lantaran so lapar neh da cari makang tre dulu ya. So lama ngoni da
datang? Napa e Pendeta kita pe pemuda pembangunan di kampung. Dia nda rupa depe
tamang-tamang laeng. Dia rajin ibadah deng memang ja ba topang pa torang pe
greja karu’ dia”cakap tanta dengan muka yang kaku penuh
ketakutan karena dipergoki jiwa yang melayang.
Si jubah langsung
menyambung saat teringat wajah yang tak memberikan apa-apa kala berjabat tangan
tadi di gereja.
“ih ngana reeng
tu tadi di greja ce? Iyo kita so inga. Eh mar torang pe perjuangan musti tarek
ulang tu domba-domba yang hilang supaya torang pe greja lebe rame deng upahmu
tidak akan sia-sia” sebut si jubah hitam.
Dapat kupastikan kedua
orang ini ketakutan dan berusaha membuat suasana tetap tenang padahal ketakutan
itu tak dapat disembunyikan dari raut wajah dusta itu.
“sana e kita deng
tamang-tamang kampung da datang so dari tadi ya. Lantaran kwa Lo’or da lia pa
tanta tadi neh kurang kiing da ta kage kita da lia tanta reeng ja ba pasiar
kamari. Nda karu’ apa-apa ya ja datang makang di tampa bagini biar nda ja dapa
lia bae-bae tu makanan yang penting sedap ce?” jelasku pada setiap pertanyaan yang dihentarkan tanta.
Ketakutan tak bisa
dihindarkan si pelayan greja. Sungguh ini adalah kritikanku terhadap para
manusia yang merasa diri dekat dengan Tuhan. Sudihkah aku yang cemar kini akan
bersama para perindu surga? Oh tidak ini gila. Si pelayan pun melakukan yang
demikian bahkan mainan lidah si jubah hitam begitu agresif.
Begitu ku kembali ke
tempat teman-teman, si jubah hitam dan pelayan greja itu meninggalkan tempat
mereka. Bukan soal siapa kau tetapi ketamakan manusia tidak diukur dengan seberapa
besar kedekatannya dengan Tuhan. Akhirnya kini kutahu setan itu tidak busuk,
setan itu tidak bau, setan itu tidak bertandu seperti yang dikatakan pendeta
yang berkhotbah di media sosial. Setan itu harum, setan itu di gereja, setan
itu rapih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar