Laman

Rabu, 26 Juli 2017

AKU DAN SI JUBAH HITAM


Ekspedisi gunung lolombulan bersama Sanggar Tumondei 2013

Panggil aku Lolombulan. Nama ini diberikan padaku kerena kehidupanku berada di kaki gunung Lolombulan desa yang diapit oleh dua gunung yang melambangkan surga bagi desaku yang penuh dengan limpah. Sehari-hari aktivitasku memenjarakan diri dalam kamar membuat sesuatu yang tak berfaedah, mulai dari rokok, alcohol, narkoba, bahkan kamarku dibuat terlihat seperti club malam yang disinggahi para manusia yang puncak libido berada diatas rata-rata. Yah wajar saja hidup ini seorang diri dan memerlukan penjara setan demi kenikmatan. Hmmm … mungkin saja ini kenikmatan setan karena tuhan pun tak mendengar kelukesahku seumpama dunia menikam rasa keheningan pun tetap dia menghiraukanku.
Selanjutnya ketololanku mengiayakan setiap minggunya harus ke gereja mendengar kebohongan mimbar yang sendirinyapun melakukan hal sinting.

“Dunia ini penuh dengan ketamakan lihat saja jemaat kita semakin sedikit yang beribadah namun setiap malamnya warung-warung penuh dengan kumpulan setan yang merasuk diri setiap kita. Katakan amin saudaraku! Tuhan mengasihi kita yang masih setia sampai saat ini berada dirumah-Nya” ucap seorang yang berdiri megah dengan wibawa di atas mimbar.

Smokol tadi rasanya ingin keluar semua dari usus yang sementara beroprasi atau mungkin kubiarkan dia menjadi tai dan masuk di toilet beserta ucapan-ucapannya. Anehnya diri ini tetap ikut setiap minggunya diperkumpulan ini atau mungkin demi pencitraan semata seolah terlihat sebagai manusia penuh roh kudus.

“jangan biarkan para sahabat-sahabat kita terperangkap dalam lumbung yang tak dapat lagi diselamatkan jika mereka sendirian. Marilah saudaraku kita bawa mereka ke rumah tuhan dengan membuat cinta dan kasih sebagai dasar iman percaya kita untuk menghadap yang maha kuasa. Sesungguhnya tuhan tidak akan tinggal diam dalam kerjamu” sebut seorang yang berdiri megah diatas mimbar.
Seusainya, kebiasaan saling bersalaman sebelum pulang dan kebetulan uangku habis. Kini lima orang didepanku akan bersalaman dengan si pria dengan jubah hitam yang dikenakannya. Terdengar olehku setiap salaman selalu ada kata “puji tuhan, makase neh” seorang berikut “puji tuhan, makase neh” berikutnya pun tetap demikian ucapan yang sama tetap keluar dari si jubah hitam. Kini giliranku dengan tangan kosong menggenggam tangan si jubah dan “berkat tuhan mari hitunglah. Jangan stenga-stenga untuk hamba tuhan saudaraku” ucapannya senyum tapi tetap itu adalah sindiran untukku karena tangan kosong menggenggam tangannya.
Menjadi kebiasaan saya dan beberapa teman setiap hari minggu menuju Manado. Butuh waktu 3 jam dari desaku untuk mendapatkan kota yang penuh dengan sampah malam. Biarku sebut itu sampah malam karena setiapnya kutemukan para wanita-wanita desa datang melacur demi menghendaki diri mendapatkan pakaian ala korea, kosmetik yang berlabel internasional. Haaa … biarkan saja diriku pun tetap demikian penuh dengan kemabukan. Setibanya kami langung mencari bar ternama untuk memenuhi hasrat kekinian manusia rakus. Aku rakus bagaimana mungkin kubiarkan nafsuku sendiri tanpa ada pelampiasan. Sesungguhnya para manusia yang berada di gereja tadi pun demikian. Dan harus dibanggakan nafsu yang diberikanNya ini.

“wey Lolombulan co nga lia kwa tu sana. Apa ona’ itu e tu tanta lolombulan?” ucap seorang dari kami.

“wey iyo reeng nge Lolombulan sana e. Pelayan di greja ona’ tu tanta itu e?” sambung yang lain dengan penuh keheranan.

Ekspedisi gunung lolombulan bersama Sanggar Tumondei 2013
Ha … bagiku biarkan saja dia lantaran siapapun berhak mengunjungi tempat ini. sesungguhnya tempat ini bagian dari ciptaan para penindas untuk memuaskan karunia pencipta. Yang aneh saat kucoba palingkan empat puluh derajat leher yang kelelahan ini kutemui si jubah hitam tadi berada disampingnya pikir awalku dia bersama suaminya ternyata bukan demikian. Kedua bibir itu kini terlihat menunjukan posisi siap menyambar. Yahh hitungan ketigaku belum selesai nampak senjata tak bertulang saling berguling di bawah lampu diskotik beserta music remix yang menggema. Sedikitnya mata ini tak mau berkedip gaya eropa itu begitu liar berperang satu dengan yang lainnya mempertontokan sedikitnya ratusan pengunjung tempat ini.

“adoh setang tu tanta sana so bahugel ona e? di pilar (perkebunan) ona’ tu Alo ja ba captikus akang nge. Kita tahu dia ja tinggal di pilar. Njo torang pukul jo tu laki-laki setang sana kong torang se malu tu tanta ityu” ucap Lo’or dengan wajah geram yang siap menerjang tabrakan liar disana.
“biar jo nanti kita jo tu ba dekat pa dorang. Mota kage dorang kalu mo lia torang da lia dia” sambungku untuk menjauhkan kekacauan. Lo’or dikenal di desaku adalah pria yang pencari keributan padahal setelah kucoba bergaul dengannya justru pikiran liarku terhadapnya salah. Emosi saja yang tak bisa dikontrol olehnya apalagi bersama dengan teman lain yang memanfaatkan dirinya.
“Malam bae Pendeta ucapku disamping mereka yang asik berfantasi dengan kenikmatan. Mendengar suara yang keluar tadi sontak kenikmatan dari tabrakan liar bibir yang ta lem terpisah. Wajah yang geram berpaling menghadapku soalah merasa aku adalah Polisi yang siap menilang wanitanya karena tak mempunyai SIM. Cahaya remang membuat si jubah tak mengenaliku bahkan seolah felungku kiri siap menancap pipi kiri laki-laki sepi ini.

“kiapa mo apa? Kita so klar ba pesan dang tadi” pikir si jubah aku adalah seorang pelayan di tempat itu. Wanita disamping si jubah mengarahkan wajahnya memerah dan kaget penuh ketakutan tergambar pada ekspresi.

“eh ada reeng Lolombulan disini. Sapa-sapa ngoni? Napa kwa tanta deng pendeta ada kunjungan orang saki tadi mar lantaran so lapar neh da cari makang tre dulu ya. So lama ngoni da datang? Napa e Pendeta kita pe pemuda pembangunan di kampung. Dia nda rupa depe tamang-tamang laeng. Dia rajin ibadah deng memang ja ba topang pa torang pe greja karu’ dia”cakap tanta dengan muka yang kaku penuh ketakutan karena dipergoki jiwa yang melayang.

Si jubah langsung menyambung saat teringat wajah yang tak memberikan apa-apa kala berjabat tangan tadi di gereja.


 “ih ngana reeng tu tadi di greja ce? Iyo kita so inga. Eh mar torang pe perjuangan musti tarek ulang tu domba-domba yang hilang supaya torang pe greja lebe rame deng upahmu tidak akan sia-sia” sebut si jubah hitam.
Dapat kupastikan kedua orang ini ketakutan dan berusaha membuat suasana tetap tenang padahal ketakutan itu tak dapat disembunyikan dari raut wajah dusta itu.
“sana e kita deng tamang-tamang kampung da datang so dari tadi ya. Lantaran kwa Lo’or da lia pa tanta tadi neh kurang kiing da ta kage kita da lia tanta reeng ja ba pasiar kamari. Nda karu’ apa-apa ya ja datang makang di tampa bagini biar nda ja dapa lia bae-bae tu makanan yang penting sedap ce?” jelasku pada setiap pertanyaan yang dihentarkan tanta.
Ketakutan tak bisa dihindarkan si pelayan greja. Sungguh ini adalah kritikanku terhadap para manusia yang merasa diri dekat dengan Tuhan. Sudihkah aku yang cemar kini akan bersama para perindu surga? Oh tidak ini gila. Si pelayan pun melakukan yang demikian bahkan mainan lidah si jubah hitam begitu agresif.
Begitu ku kembali ke tempat teman-teman, si jubah hitam dan pelayan greja itu meninggalkan tempat mereka. Bukan soal siapa kau tetapi ketamakan manusia tidak diukur dengan seberapa besar kedekatannya dengan Tuhan. Akhirnya kini kutahu setan itu tidak busuk, setan itu tidak bau, setan itu tidak bertandu seperti yang dikatakan pendeta yang berkhotbah di media sosial. Setan itu harum, setan itu di gereja, setan itu rapih.





Tidak ada komentar: